Terlalu lama bongkahan ini ku
pendam kawan, sebuah bongkahan kenangan yang telah menjadi es di salah satu
sudut hatiku. Beku tak mencair. Aku menunggu musim semi untuk mencairkannya.
Dan kini musim semi itu datang, ia datang bersama bingkaian cahaya mentari yang
ku harap dapat mencairkan semua bongkahan beku ini dengan sempurna. Aku
tahu, kisah ini takkan berarti tanpa
kalian semua. Kisah ini tercipta karena Tuhan telah menakdirkan kita untuk
bertemu dan waktu merekam semua cerita itu tanpa ada cela. Kawan, tak ada kisah
yang tak indah untuk diceritakan. Dan kisah kecilku, adalah awal dari bongkahan
yang akan kucairkan. Kencangkan sabuk pengamanmu kawan, kita akan menjelajah ke
dimensi waktu 15 tahun yang lalu. Menuju salah satu titik kecil dibumi yang tak
terlihat dalam peta. Sebuah negeri diatas awan yang sejuk dikelilingi oleh
pegunungan bukit barisan, Rimba Raya.
Taman kanak-kanak. Apa yang ada
difikiranmu jika aku sebutkan kata itu??? Ya… bernyanyi, bermain, makan-makan,
menangis, tertawa, ahhh… banyak kawan, itulah yang aku lakukan dulu. Dalam
rekaman waktu yang ku punya, aku adalah seorang anak yang berwajah manis,
berkulit putih, rambutku selalu disisir menyamping oleh ibuku, kata abangku
dengan model sisiran rambut menyamping kekanan (sebeng) aku mirip seorang model iklan dikaleng mentega yang tersenyum
memegang roti berbaju warna biru. Hampir mirip kawan. Hanya saja wajahku lebih
manis dari model itu.
Mentari menyapa bumi, embun
masih bergelayutan dipucuk-pucuk rumput. Hm…udara dikampungku memang sejuk
kawan. Rasa enggan untuk bangun mengalahkan goncangan tangan yang
membangunkanku. Yah, Kakakku, sebut saja Aan, dia selalu membangunkanku dari
buaian mimpi, jika aku masih membandel ia akan
menggelitik lubang hidungku dengan ujung selimut hingga aku
menggeliat-geliat sampai kesadaranku
mencapai tahap maksimal. Dan dimulai lah
pagi itu dengan tangisan kencang dari mulutku. Ahhh, sewaktu kecil kami
selalu tak pernah akur.
Pagi yang cerah. Aku siap dengan
seragam taman kanak-kanak-ku, kemeja kuning dengan celana pendek hijau. Tak
lupa, dasi hijau yang dikalungkan dibagian dalam kerah kemejaku. aku mengenakan
tas ranger kesayangan ku, kakakku juga rapi dengan seragam putih merah SD nya,
tas Boneka Beruang yang disandangnya, naik turun mengikuti langkah kaki kami
yang menuruni tangga rumah. Ibu
membuatkan nasi goreng telur dadar untuk bekalku, dengan teh hangat sebagai
teman minumku. Setelah suapan terakhir sarapanku, aku digamit kak aan ntuk
pergi ke sekolah. Diteras rumah, telah menunggu beberapa teman kakakku. Aku
duduk dibangku bekas potongan blog kayu , menunggu kak Aan selesai memakaikan
sepatu untukku dan kami akan pergi sekolah bersama-sama. Itulah yang paling ku suka kawan, pergi
sekolah bersama-sama.
Jarak rumah ke sekolah ku sangat
dekat, hanya 50 meter di depan rumah. Aku dan kakakku pergi bersama. Ia hanya
mengantarkan ku sampai ke depan sekolah
– aku tak menyebut nya gerbang, karna sekolah kami tidak mempunyai pagar . Ohhh
yaa… aku lupa memberitahu, aku bersekolah di TK Aisyiah Bustanul Athfal Rimba
Raya. Di depan sekolah, teman-temanku yang lain telah ramai, mereka antri
menunggu giliran untuk bermain ayunan, sebagian mencorat-coret tanah, melukis
geometri tak berbentuk. Maklum, TK ku tak mempunyai arena bermain yang lengkap.
Hanya ada dua ayunan bergantung lesu di tiang besi yang telah beberapa kali
patah. Aku meraih tangan guruku, Ibu Syamsiah dan menyalaminya. Dengan sapaan
yang halus ia menanyakan kabarku pagi ini.
Aku menemukan sahabat kecilku
disini. Sahabat-sahabat yang nantinya akan kurindukan ketika aku sendirian
mencairkan bongkahan kisah ini. Mereka imut-imut, nakal, pemalu, sedikit jorok,
cadel, periang, dan khas perilaku anak umur 5 tahun lainnya.
Si rambut gupung (berambut pendek),
Ade Maulida Aritago, sahabat dekatku yang rumahnya hanya lima meter disamping
rumahku, waktu kecil ia sangat mudah ngambek, sebentar-bentar ngambek,
sebentar-bentar ngambek, hehehehe. Si kalem nan cool , Hardy Fitra, Si rapi
jali ini selalu tampil perfeksionis. Irena Dhika Ningtyas yang lucu. Si Mungil
Rachmat Chumaidy sepupunya ade. Si muka Imut Mulawarman atau yang biasa kami panggil maman, yang
masih ngompeng kalo pergi sekolah. Sang periang nan manis Fitri Hanita,rambut
kucirnya bergoyang-goyang mengikuti muka Chinese-nya. Si jangkung Juliani Simahbengi, si cadel
Ema, Mukaramah, Suratman, Hendra telong , Hamdani, dan sebagian lagi luput dari
ingatanku.
Tak ada yang istimewa, kami
bermain laiknya anak TK yang lain. Berbaris sembari menyanyikan lagu dan berdoa sebelum masuk kelas, menggambar,
makan bekal dari rumah, belajar mengenal huruf dan angka, istirahat, nyanyi
lagi (sayo nara), berdoa, dan pulang. Senin pagi adalah waktu yang paling
menyebalkan bagiku, prosesi upacara bendera sedikit menyiksaku. Kami baris
membentuk lingkaran. Aku berada di depan, disamping ibu guru Syamsyiah sembari
memegang bendera dari kertas minyak berwarna merah putih, berukuran 30 x 10 cm,
bertangkaikan lidi. Ya, aku menjadi tiang bendera. Posisiku berdiri sambil mengangkat
memegang tangkai bendera. Hahhahaha, aku geli sendiri mengingatnya. Takdir kita
menuntut ilmu di sekolah kampong,tanpa ada tiang bendera.
Aku selalu menunggu datang nya hari sabtu,
karna sabtu adalah hari yang tidak membosankan. Sabtu adalah hari yang
istimewa, tak ada menggambar, mengenal huruf dan angka, bermain puzzle, dan
kegiatan membosankan didalam kelas lainnya. Sabtu adalah hari main-main, hari
bebas melihat langit tanpa batas. Ketika pagi sabtu menyapa, kami berkumpul
didepan kelas berbaris rapi, bukan untuk masuk kelas tapi Berbaris meninggalkan kelas. Tempat yang kami selalu
kami nantikan jika hari sabtu tiba. Yup… Tugu Radio Rimba Raya adalah tujuan
kami. Dengan dua banjar barisan, langkah kecil kaki kami bergembira seirama
suasana hati. Sepanjang perjalanan 100 meter itu, kami bernyanyi ria :
Naik-naik ke puncak gunung,
tinggi-tinggi sekali…
Kiri-kanan, ku lihat saja,
banyak pohon cemara…
Kiri-kanan, ku lihat saja,
banyak pohon cemara….
Dilanjutkan dengan nyanyian
disini senang, disana senang, anak gembala, pelangi-pelangi, lihat kebunku,
hingga kami kelelahan dan kehabisan suara…ahh…kawan..memori itu….memori itu
benar-benar menyiksaku.
Sesampainya di Tugu, lelah kami
terbayar dengan pemandangan lembah pegunungan yang memukau. Kawasan tugu yang
luas dan berundak-undak, menjadi surga bermain bagi kami. Lelah dalam
perjalanan hilang. Ibu guru mengumpulkan kami untuk duduk di suatu tempat yang
mirip hall. Beliau mulai mendongeng,
kali ini dongeng Atu Belah , dongeng dari daerah dataran tinggi Gayo. Selesai
mendongeng, kami menyantap bekal yang dibawa dari rumah. Selepas itu kami bebas
bermain sampai waktu pulang tiba.
Kawan, ku tahu cerita ini
mungkin biasa saja bagimu, tak ada yang istimewa tak ada yang menarik. Namun
bagiku, setiap detail kejadian itu serasa membiusku, melemparku kembali ke masa
kanak-kanakku. Disana ku ukir cita-cita yang belum aku gapai. Disana ku ingat
wajah-wajah kecil sahabatku, kenangan-kenangan yang ku lalui bersama mereka,
dalam balutan rindu yang ku syairkan bersama butiran-butiran air mata haru.
Kawan, satu dari jutaan kubik
bongkahan itu telah mencair. Aku
berharap musim semi dan mentari datang lagi, untuk mencairkan jutaan kubik
bongkahan yang masih tersisa di sudut hatiku. Sampai disini kawan, aku bangga
menjadi seorang anak kecil.
Seorang anak kecil yang bernama
Rizki Akbar
0 comments:
Post a Comment